Jumat, 22 April 2011

Chinese Women in Indonesia Victims of Mass Rape During May Riots

Chinese Women in Indonesia Victims of Mass Rape During May Riots

It's just over a month since President Suharto was
ousted from power in Indonesia. The killing of six
students which sparked off the unrest has been
investigated and the perpetrators found. But
reports are now emerging of other atrocities that
were committed whilst Suharto was ousted from
power in Indonesia. Our Asia correspondent,
Matt Frei, reports:
Last month hundreds of journalists, including
myself, descended on the Indonesian capital,
Jakarta, to cover the rising wave of popular
unrest which finally swept President Suharto from
power. Most of our attentions were focused on
the demise of Asia's longest ruling dictator. He
was the story.
But behind closed doors something far more
sinister was taking place. The Chinese minority
has traditionally been the scapegoat in Indonesia.
But what happened on May the thirteenth and
fourteenth defied their own worst expectations.
Thiem Sentee, a Chinese hotel manager, used to
have a hotel located in the heart of Jakarta's
Chinatown until it was burned down by the mob
together with thousands of other Chinese-owned
shops and houses. He said he'd heard a story of
a woman being raped in front of her husband and
children. She took insecticide the second day
and couldn't be saved. Other women were
victims of gang rape, some of whom found the
trauma too much, preferring to commit suicide.
Many ethnic Chinese are Christians and it was at
church that the rape victims first overcame their
shame. As one woman spoke out another stood
up and told a similar story and then another. A
terrible realisation dawned on congregations in
Jakarta and elsewhere. The Chinese women had
become victims of what looked like a campaign
of mass rape. Swamped by appeals for help from
the churches the psychology department at
Jakarta University set up a forum to encourage
the women to speak out in public. None of them
dared but there were plenty of eyewitnesses. One
man described how he helped a mother and
three daughters escape the country.
On the fourteenth of May my friend's three
daughters were put on the back of a truck by a
group of men. They were repeatedly raped from
four in the afternoon until three in the morning.
The youngest was fourteen. The next day I drove
them to the airport. They escaped on a plane to
Singapore and then Australia.
Many of those who couldn't flee are still in
hospital, their minds scarred and their bodies
often horribly mutilated. One of their doctors said
the youngest victim had been eleven years old
and the eldest eighteen or nineteen. She knew of
at least four hundred cases of rape. In one
incident sixty-eight Chinese women and girls
were raped by groups of as many as ten men
who systematically worked through the floors of
an apartment block in a middle-class, residential
district. Frequently the victims were humiliated in
front of their Indonesian neighbours.
A psychologist, Christie Powandari, has set up a
crisis centre for the victims, some of whom had
been ordered to dance naked whilst people
clapped their hands as if they were animals.
According to him, rape is quite common but
mass rape like this is definitely not.
The unanswered question haunting the Chinese
community, still numb with fear, is who did this. A
number of victims have said that the men who
raped them had crew cuts and tattoos and that
they seemed to be drugged, or drunk. In the
rumour mill of Jakarta, some have pointed to the
same renegade units in the army which allegedly
encouraged the rioters and looters; possible, but
not proven. What is proven is the racism and
jealousy of many Indonesians towards their
relatively wealthy Chinese neighbours. Could the
rapes have been committed by ordinary people
venting their anger against a helpless minority? It
was a question that Christie Powandari was loath
to contemplate.
I don't think that Indonesian people, even when
they really hate Chinese, for example, can do that
- rape groups of twelve years old young girls. I
don't know. It's really unbelievable.
What we do know is this. Hundreds, perhaps
thousands of Chinese women were
systematically raped on two consecutive days in
May and so far the government of President
Habibie which has promised reforms and the
respect of human rights has done absolutely
nothing to find the perpetrators and punish them.

FAKTOR KEMACETAN LALULINTAS



  
Pilih mana, jalur reguler yang ada di kiri dan kanan atau jalur Tol dalam kota yang ada di tengah?
(Foto oleh: infodokterku.com)

Kemacetan lalu lintas dan banjir yang menjadi masalah utama kota Jakarta sudah menjadi rahasia umum, bahkan banyak orang di seluruh dunia sudah mengetahuinya. kemacetan lalulintas ibarat penyakit kanker yang menggerogoti tubuh ibukota Jakarta. Pada awal tahun 2011 Presiden SBY telah menegaskan bahwa Jakarta harus bebas dari kemacetan lalulintas pada tahun 2020 dan harus ada kemajuan yang signifikan pengurangan kemacetan di Jakarta pada tahun 2014. Oleh karena itu lebih baik kita memikirkan hal-hal yang konstruktif kearah perbaikan dan mencari berbagai alternatif upaya pemecahan masalah kemacetan lalulintas di Jakarta. Telah banyak teori, jurus, dan rencana hingga aksi nyata diajukan para Ahli, Tokoh, Ilmuwan dan Pejabat untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, tetapi bukannya membaik malah kondisi lalu lintas di Jakarta semakin semrawut dan tingkat kemacetan semakin parah. Penulis mencoba turut berkontribusi melalui tulisan ini, dengan harapan dapat dibaca oleh Para pengambil kebijakan serta dipertimbangkan untuk diterapkan salah satu atau beberapa diantaranya.

Pengertian Kemacetan Lalu Lintas
Menurut pendapat penulis, kemacetan lalu lintas adalah suatu keadaan atau situasi yang terjadi di satu atau beberapa ruas lalu lintas jalan dimana arus kendaraan bergerak sangat lambat tidak semestinya hingga stagnan sehingga menyebabkan terganggunya aktifitas dan pergerakan pemakai jalan.

Dampak Kemacetan Lalu Lintas
Kemacetan sudah pasti akan menimbulkan kerugian namun saking banyaknya, belum pernah (dan tidak akan pernah) ada yang dapat menghitung secara tepat jumlah kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan lalulintas. Menurut pakar lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Dr Firdaus Ali, MSc (2009), diperkirakan akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta mengakibatkan kerugian pada seluruh warga Ibu Kota yang jumlahnya mencapai sekitar Rp 28 triliun per tahun.

Dampak negatif kemacetan lalu lintas yang dapat dirasakan langsung atau tidak langsung, yaitu:
  1. Kerugian waktu.
  2. Kerugian ekonomi karena boros bahan bakar (BBM), terganggunya jadwal bisnis dan kegiatan keluarga dengan segala macam dampak yang mengikutinya.
  3. Stress dan kelelahan dengan segala akibatnya, seperti mudah tersinggung, mudah marah, dan turunnya produktivitas.
  4. Penurunan kualitas udara di Jakarta akibat meningkatnya kadar zat-zat pencemar utama yang berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor dengan rentetan dampak lainnya seperti penyakit dan berkontribusi besar pada terjadinya pemanasan global.
  5. Lesunya dunia pariwisata Jakarta.
  6. dan masih banyak lagi kerugian yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Faktor faktor Penyebab Kemacetan Lalu Lintas
Banyak faktor yang dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas. Menurut sumbernya, kemacetan lalu lintas disebabkan oleh 4 faktor utama yaitu:
1. Faktor jalan raya (ruang lalu lintas jalan)
2. Faktor kendaraan
3. Faktor manusia (pemakai jalan)
4. Faktor lain

ad. 1. Faktor Jalan raya (ruang lalu lintas jalan)
Faktor jalan raya adalah faktor-faktor yang berasal dari kondisi jalan raya itu sendiri. Buruknya kondisi ruang lalu lintas jalan  serta sempit /terbatasnya ruang/lahan jalan akan menghambat pergerakan pengguna jalan.

Penyebab buruknya kondisi ruang jalan raya antara lain: adanya kerusakan sebagian atau seluruh ruas jalan,  pemanfaatan ruang jalan untuk  urusan yang bukan semestinya atau pemanfaatan yang keliru, misal: jalan digunakan untuk praktek pasar. Terbatasnya lahan jalan dapat diartikan daya tampung (kapasitas) yang rendah dari ruang lalu lintas jalan, disebabkan jumlah kendaraan yang melintas/beredar melebihi daya tampung ruang jalan dan pemanfaatan yang keliru dari ruang lalu lintas jalan.

Tentang jalur bus Transjakarta (bus way): Dalam kondisi bus Trans Jakarta seperti saat ini, sangat sulit untuk memenangkan perdebatan bahwa keberadaanbus way dapat mengatasi kemacetan lalulintas. Dari sisi penumpang, bus ini cukup bagus dalam memberikan kepuasan kepada penumpang. Namun bila ditinjau dari sisi lain, upaya menegakkan kesterilan jalur 'busway' secara kaku pada jam-jam padat lalulintas semakin menambah tingkat kemacetan lalulintas di Jakarta. Satu realitas yang tak dapat dibantah, salah satu penyebab berkurangnya lahan/ruang jalan raya di Jakarta yang memang sudah terbatas adalah pemakaian sebagian ruang jalan untuk digunakan jalur bus Transjakarta (bus way). Ketika kemacetan parah terjadi di jalur reguler (jalan bukan tol), sedangkan jalur 'khusus bus way' nampak lengang dan hanya sesekali bus Transjakarta terlihat meluncur di jalurnya, hal ini dapat menimbulkan tanda tanya ('what is wrong?') dari pemakai jalur bukan tol.

ad. 2. Faktor Kendaraan
Faktor kendaraan adalah faktor-faktor yang berasal dari kondisi kendaraan yang melintasi di jalan raya. Berbagai hal yang menyangkut kondisi kendaraan bisa berupa: jenis, ukuran, kuantitas (jumlah) dan kualitas kendaraan yang melintas di jalan raya. Misal: jumlah kendaraan yang beroperasi/melintas melebihi daya tampung jalan raya, beroperasinya jenis dan ukuran kendaraan tertentu yang berpotensi memacetkan arus lalu lintas.

Menurut hasil jajak pendapat pada infodokterku.com yang dilakukan sejak bulan September 2010 dengan pertanyaan "Menurut pendapat Anda, jenis kendaraan apa yang punya kontribusi paling besar dalam menimbulkan kemacetan di jalan-jalan Ibukota (Jakarta)?" Hasilnya per tanggal 28 Februari 2011, berturut-turut: 57,3% responden menjawab mobil, 26,7% menjawab angkutan umum dan 16% menjawab sepeda motor punya kontribusi paling besar dalam menimbulkan kemacetan lalu lintas di Jakarta.

Berdasarkan hasil jajak pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa bagian terbesar responden berpendapat mobil pribadi merupakan kontributor terbesar dalam menimbulkan kemacetan lalu lintas di Jakarta, diikuti angkutan umum sebagai kontributor terbesar kedua. Dapat dimengerti karena mobil (mobil pribadi) memiliki ukuran badan (body size)  yang besar dan populasinya yang besar pula sehingga sangat banyak menyita ruang jalan raya. Banyaknya mobil (mobil pribadi) yang beroperasi di jalan raya pada suatu saat tertentu secara bersamaan akan sangat menyita lahan jalan raya yang memang sudah sangat terbatas.

Selain itu, pemakaian mobil pribadi di Jakarta sangat tidak efisien. Yang dimaksud tidak efisien adalah jumlah penumpang (termasuk pengemudi) hanya 1 atau 2 orang di dalam satu mobil. Contoh, penulis sering mengamati betapa banyak (walaupun tidak dihitung) mobil yang berpenghuni hanya 1 orang yaitu sopir saja tanpa penumpang. Acapkali pula penulis memergoki para 'Eksekutif muda" sedang mengendarai mobil seorang diri ditengah kemacetan lalulintas di Jakarta dan mobilnya berbadan lebar (bongsor) pula. Di dalam hati penulis berkata, "aih ... betapa boros tempat dan boros energi .... mengapa hal seperti ini 'didiamkan' saja??" (Maaf, penulis tidak bermaksud mendiskreditkan para Eksekutif muda, hanya menghimbau agar menggunakan mobil secara efisien.)

Sangat mudah untuk membuktikan bahwa pemakaian mobil pribadi di Jakarta sangat tidak efisien (inefisiensi). Penerapan Three in one di Jakarta dapat dijadikan alat ukur yang cukup valid untuk membuktikan betapa penggunaan mobil pribadi di Jakarta sangat tidak efisien. Lihat saja pada saat berlaku 3 in 1 di Jalan Gatot Subroto mulai pukul 5 sore setiap hari kerja, maka banyak mobil pribadi menghindari jalan non tol yang terkena aturan 3 in 1 sehingga jalan non tol menjadi 'sepi' dari mobil pribadi, sebaliknya jalan tol menjadi sangat padat sampai macet. Pengemudi mobil pribadi lebih memilih menggunakan jalan tol walaupun harus membayar dan masuk melalui antrean panjang untuk kemudian mengalami kemacetan di jalur tol dalam kota. Sebelumnya, pada pukul 4 sore jalan Gatot Subroto non tol sangat padat dengan mobil pribadi seolah-olah mereka berebut memasuki jalan ini sebelum waktu menunjukkan pukul 5 sore (saat3 in 1 mulai berlaku).

ad. 3. Faktor manusia (pemakai jalan)
Faktor manusia adalah faktor-faktor yang berasal dari manusia selaku pemakai jalan. Berbagai hal menyangkut manusia antara lain: sikap, perilaku dan kebiasaan (behavior and habit) yang kurang tepat ketika menggunakan jalan raya menyebabkan kemacetan lalu lintas dan membahayakan pihak lain, misal: sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri, tidak mau mengalah, congkak, arogan, menganggap bahwa melanggar aturan berlalu lintas adalah hal biasa serta tidak mengetahui atau tidak mau peduli bahwa gerakan (manuver) nya mengganggu bahkan membahayakan keselamatan pengguna jalan lain, yang berprinsip bahwa kecerobohannya bukan merupakan tanggung jawabnya melainkan menjadi tanggung jawab pihak lain.

ad. 4. Faktor Lain
Banyak faktor lain selain ketiga faktor (komponen) di atas yang dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas, misalnya: penerapan yang keliru terhadap kebijakan dan undang-undang lalu lintas angkutan jalan, kurangnya jumlah petugas pengatur lalu lintas, demonstrasi, kerusuhan, dan cuaca (hujan deras dan banjir).

Alternatif Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas di Jakarta, tidak dapat dicapai dengan cara-cara yang 'biasa', harus dilakukan upaya-upaya (intervensi) terobosan yang 'tidak biasa' dan mungkin (maaf) 'sedikit gila.' Agar tingkat kemacetan di Jakarta dapat direduksi, maka upaya-upaya terobosan ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh (serius, menyeluruh, tidak setengah-setengah), tidak pilih bulu, tegas dan berani walau berisiko mendapat banyak tantangan dan pertentangan. Upaya-upaya terobosan yang disusun berdasarkan faktor-faktor penyebab kemacetan di atas sebagian besar akan berkonsekwensi/memerlukan adanya perubahan kebijakan (perda) tentang transportasi (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Upaya-upaya itu adalah:

1. Perbaikan faktor jalan raya.
Prinsip upaya perbaikan faktor jalan raya adalah semua upaya (intervensi) dengan target kepada jalan raya yang bertujuan untuk memperluas lebar jalan dan memperoleh atau 'merebut' kembali pemanfaatan jalan raya yang selama ini disalahgunakan atau dimanfaatkan secara keliru. Upaya-upaya yang dapat ditempuh antara lain:
  • Memperbaiki jalan-jalan yang rusak/berlubang.
  • Memperlebar ruang jalan di ruas-ruas jalan yang masih memungkinkan untuk dilebarkan.
  • Melarang penggunaan jalan dan atau trotoar untuk berbisnis/usaha, misal: bongkar muat barang di tepi jalan, praktek  dagang di trotoar, dan praktek ojek motor. Trotoar hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki.
  • Melarang penggunaan jalan untuk kegiatan pasar. Salah satu contoh kegiatan pasar yang mengganggu arus lalulintas adalah  praktek Pasar Koneng di daerah Daan Mogot Pesing, Jakarta Barat, yang sangat mengganggu arus lalulintas pada pagi, sore dan malam hari.
  • Menertibkan/melarang penggunaan jalan raya untuk area parkir dan tempat mangkal angkutan umum dan ojek sepeda motor. Salah satu contoh penggunaan jalan raya untuk tempat mangkal angkutan umum dan ojek sepeda motor adalah jalan di depan Mal Slipi Jaya  dan Pasar Slipi di bawah jalan layang yang sepanjang hari dimanfaatkan sebagai terminal  mikrolet, tempat mangkal bajay dan ojek sepeda motor sehingga jalan menyempit yang diperparah dengan banyaknya sepeda motor yang berjalan melawan arus.
  • Menertibkan pengemis, pedagang asongan dan anak jalanan beroperasi di persimpangan jalan.
  • Melarang angkutan umum ngetem (mangkal atau berlama-lama berhenti) di pinggir jalan, melarang adanya "terminal bayangan." Salah satu contoh jalan yang sangat semrawut adalah jalan Casablanca di depan terminal kampung melayu di bawah jalan layang, kemacetan di sini terutama pada sore hari disebabkan adanya terminal bayangan bagi bus dan mikrolet, banyak pedagang menggelar dagangan di badan jalan dan trotoar, dan pangkalan ojek sepeda motor.
  • Memindahkan pengoperasian Bus Trans Jakarta dari jalur yang sekarang digunakan (bus way) ke jalur/jalan tol dalam kota.
  • Sejalan dengan poin di atas, menghentikan pengoperasian jalan tol dalam kota dan mengalihfungsikan untuk jalur bus Transjakarta (bus way).
  • Memisahkan jalur sepeda motor dengan jalur mobil di ruas-ruas jalan tertentu pada hari kerja.
  • Menerapkan sistem "Tarif Jalur Padat" atau semacam Electronic Road Pricing (ERP) yang mengharuskan pengemudi membayar jika melalui ruas jalan raya tertentu pada saat lalu lintas padat.
  • Membuka jalan-jalan tembus yang baru.
  • Mempercepat pembangunan Mas Rapid Transit (MRT) berbasis jaringan kereta api yang sudah lama direncanakan. Namun perlu diperbandingkan dan hitung ulang untung rugi pembangunan MRT antara MRT berbasis Underground Tunnel Construction (subway atau underpass) dan MRT berbasis fly over, antara lain dari sisi pembiayaan, keamanan, biaya pemeliharaan, dan daya tahan dengan memperhitungkan faktor kerentanan lapisan bawah tanah Jakarta serta mengingat Jakarta masih rentan terhadap banjir dan keberhasilan pengendalian banjir. Penulis lebih condong memilih MRT berbasis flyover (jalan layang) dengan pertimbangan untuk puluhan tahun kedepan pengelola tidak perlu mengkhawatirkan jalan underpass-nya sudah tidak kedap terhadap banjir, juga dari aspek kemudahan pemeliharaan dibandingkan MRT berbasis subway.
  • Bila MRT sudah beroperasi, pengoperasian bus Transjakarta harus dihentikan.
  • 'Membersihkan' jalan raya tiga kali sehari (bahkan setiap saat pada hari kerja) dari kendaraan yang diparkir di pinggir jalan tertentu, misalnya dengan upaya sanksi denda, menderek atau merantai kendaraan yang diparkir seenaknya.
2. Perbaikan faktor kendaraan.
Prinsip upaya perbaikan faktor kendaraan adalah semua upaya dengan target kepada kendaraan yang ditujukan untuk membatasi volume kendaraan yang melintasi jalan raya, memperbesar daya muat orang (penumpang) dan atau barang yang dapat diangkut, dan menurunkan tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor, karena tujuan dari adanya jalan raya adalah untuk memindahkan orang dan barang, bukan kendaraan. Kendaraan hanya sekedar menjadi alat pengangkut.

Upaya-upaya untuk membatasi jumlah dan volume kendaraan, memperbesar daya muat orang dan atau barang hendaknya lebih dikonsentrasikan pada intervensi yang ditujukan kepada kendaraan jenis mobil pribadi dan angkutan umum. Sedangkan intervensi pada pengendara sepeda motor, berupa penerapan peraturan yang lebih ketat, yang melanggar harus ditindak tegas, upaya ini untuk mengurangi kesemrawutan lalulintas dan mengurangi kejadian Kecelakaan Lalulintas.

Upaya-upaya pada faktor kendaraan yang dapat ditempuh antara lain:
  • Membatasi jumlah mobil pribadi yang boleh dimiliki.
  • Membatasi jumlah maksimum armada angkutan umum per trayek yang boleh beroperasi.
  • Membatasi penggunaan mobil pribadi. Cara pembatasannya bisa bermacam-macam, misalnya: pembatasan usia mobil yang boleh berlalu-lalang berdasarkan tahun keluaran mobil, penerapan nomor genap dan nomor ganjil plat nomor kendaraan yang boleh beroperasi secara bergantian setiap hari, menerapkan "Zona Bebas Mobil" pada ruas jalan dan hari-hari tertentu sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi pencemaran udara, menggalakkan pariwisata, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
  • Melarang beroperasinya mobil pribadi 'berbadan lebar' pada hari kerja (senin sampai jumat).
  • Menurunkan inefisiensi penggunaan mobil pribadi dengan cara memaksimalkan jumlah penumpang yang dapat diangkut pada mobil pribadi di ruas jalan tertentu pada hari-hari dan jam tertentu, misal: penerapan five in one (bukan three in one seperti sebelumnya) pada jalur-jalur sangat padat.
  • Memperluas area dan waktu penerapan 3 in 1 secara signifikan. Misalnya: penerapan 3 in 1 di seluruh jalan protokol.
  • Sejalan dengan pembatasan penggunaan mobil pribadi, harus diikuti dengan upaya-upaya peningkatan kuantitas dan kualitas layanan angkutan umum, antara lain: menambah jumlah armada yang kurang pada suatu trayek, memperbaharui (peremajaan) armada, memberikan penyuluhan kepada para sopir angkutan umum tentang cara mengemudi yang baik, juga sangat penting meningkatkan keamanan di dalam angkutan umum (sudah menjadi rahasia umum dan momok bagi masyarakat: pemerasan, perampasan, pencopetan, pemaksaan dan kekerasan terhadap penumpang angkutan umum dengan sasaran utama terbanyak kelompok lemah seperti kaum wanita  dan anak-anak).
  • Menerapkan kebijakan yang mengatur tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor, termasuk melarang beroperasinya kendaraan jenis: bajaj dan sepeda motor bermesin 2 tak.
  • Mulai merintis penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) bagi kendaraan. Banyak keuntungan dari penggunaan BBG, antara lain akan sangat mengurangi polusi udara, mengurangi tingkat kecepatan kendaraan sehingga mengurangi pula tingkat kecelakaan lalulintas, menghemat devisa walaupun investasi awal tinggi tetapi keuntungan yang tinggi menanti dimasa depan. Untuk pembelajaran dalam penerapaan BBG, kita dapat mencontoh negara Cina.
3. Perbaikan faktor manusia (pemakai jalan).
Prinsip upaya perbaikan faktor manusia adalah semua intervensi dengan target kepada pemakai jalan (termasuk pengemudi, tukang ojek, tukang parkir, pedagang kaki lima, pejalan kaki dan pemakai jalan lainnya) dengan tujuan utama merubah sikap, kebiasaan dan perilaku (habits and behaviors) yang selama ini secara keliru diterapkan, misal: sikap mementingkan diri sendiri, saling serobot, tidak mau mengalah, congkak, arogan, menganggap pengguna jalan lain sebagai musuh, membuang sampah di jalan raya, dan bila melanggar aturan lalu lintas dianggap sebagai perilaku yang benar dan tidak memalukan.

Untuk merubah sikap, perilaku dan kebiasaan masyarakat tidak semudah membalik telapak tangan tetapi memerlukan waktu panjang dan berkesinambungan. Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui promosi di media elektronik, surat kabar, memberi contoh yang baik disamping menerapkan sanksi tegas (untuk 'shock therapy') bagi para pelanggar terutama pengemudi sepeda motor yang sering kedapatan melanggar aturan lalulintas. Masyarakat tidak akan mudah berubah tanpa adanya intervensi langsung dari petugas, oleh karena itu yang terpenting Petugas/Polisi Lalu lintas sebagai penegak keadilan di jalan raya harus mampu menegakkan keadilan di jalan tanpa pandang bulu (pilih kasih), menindak tegas para pelanggar yang termasuk:
  • Penyerobot lampu merah dan rambu lalulintas lainnya.
  • Pengendara sepeda motor yang melawan arus, tidak memakai helm dan melanggar rambu/aturan lalu lintas.
  • Pengendara sepeda motor yang memotong jalan (by pass) dengan cara melawan arus, membahayakan pengendara lain, dan menambah kesemrawutan dan kemacetan.
  • Pengendara yang berhenti di tempat yang dilarang.
  • Pengendara yang parkir di tempat yang tidak diperbolehkan.
  • Pejalan kaki yang menyeberang di tempat yang tidak diperbolehkan untuk menyeberang.
  • Pedagang asongan, pengemis, anak jalanan.
  • Membersihkan angkutan umum dari orang-orang pengecut yang mencari nafkah melalui cara-cara kekerasan (pencopet, penodong, pengancam, dan perampas harta penumpang).
  • Menerapkan peraturan secara konsekwen dan tidak 'pilih kasih,' misal: penerapan sanksi secara konsekwen dan ketat kepada pengendara mobil, angkutan umum dan sepeda motor tanpa pilih kasih, penerapan 'denda' yang tinggi kepada semua pelanggar undang-undang lalu lintas (termasuk pembuang sampah ke jalan) tanpa pilih kasih.
4. Perbaikan faktor lainnya.
Perbaikan faktor lainnya adalah intervensi lain yang dapat dilakukan selain ketiga jenis intervensi di atas. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
  1. Menerapkan undang-undang lalu lintas angkutan jalan secara konsekwen.
  2. Menambah jumlah personel pengatur dan polisi lalulintas terutama pada jam-jam pergi dan pulang kantor.
  3. Mengatasi banjir yang menjadi masalah besar bagi Jakarta.
  4. Memindahkan Ibukota Indonesia dari Jakarta ke kota lain di luar pulau Jawa.
  5. Mengeluarkan kebijakan yang melibatkan sektor lain, misal: penerapan waktu pulang dan pergi kerja dan sekolah tidak berbarengan tetapi diatur berdasarkan kebutuhan dan situasi kepadatan lalu lintas di suatu kawasan dimana waktu pergi dan pulang dapat diatur secara bergilir.
  6. Menerapkan tiga atau empat hari kerja dalam seminggu yang harinya diatur secara bergantian dalam setiap kawasan, dengan berpedoman pada prinsip untuk mengurangi kemacetan lalu lintas.
  7. Menerapkan kerja jarak jauh dan pendidikan jarak jauh melalui pemanfaatan teknologi komunikasi/internet.
Prioritas Intervensi
Semua usulan di atas sebenarnya memiliki prioritas yang kurang lebih sama untuk segera direalisasikan mengingat tingginya tingkat keparahan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Namun penulis mengusulkan satu jenis intervensi yang harus diperioritaskan bila Pemerintah ingin mendapatkan hasil yang cepat (instan) sesuai instruksi Presiden bahwa pada tahun 2014 harus ada hasil yang signifikan dalam pengurangan kemacetan lalulintas di Jakarta. Alasan intervensi ini harus diperioritaskan karena akan diperoleh yang maksimal asalkan dijalankan dengan baik, ibarat pepatah 'sekali mendayung 5 pulau terlampaui." Bila intervensi ini dilaksanakan dengan baik, serius dan benar maka dapat menjadi kunci keberhasilan bagi Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi kemacetan lalulintas. Biarlah masalah banjir belum teratasi akan tetapi bila masalah kemacetan lalulintas dapat teratasi maka akan membawa pada keharuman nama pemimpinnya. Intervensi yang dimaksudkan adalah PEMBATASAN PENGGUNAAN MOBIL PRIBADI secara signifikan. Tak sulit untuk tidak meragukan bahwa tingginya jumlah mobil pribadi yang beredar di jalan raya berkorelasi dengan terjadinya kemacetan lalulintas, dengan perkataan lain, semakin banyak jumlah mobil pribadi yang beredar di jalan raya maka semakin tinggi pula tingkat kemacetan lalulintas di Jakarta. Mengenai caranya, hanya perkara teknis yang kiranya mudah dilaksanakan bila pemerintah 'benar-benar bertindak.'

Penulis mengusulkan penerapan kebijakan nomor genap dan nomor ganjil plat nomor kendaraan mobil pribadi yang boleh berkeliaran dengan selang 1 hari. Sebelum menerapkan, ada baiknya dilakukan pembuktian dengan cara melakukan semacam percobaan (eksperimen) terlebih dahulu. Eksperimen tidak perlu makan waktu yang lama, cukup satu minggu saja (catat, satu minggu saja), dilakukan secara mendadak dan tidak perlu persiapan yang lama, cukup disosialisasikan kepada masyarakat satu minggu sebelum pelaksanaan. Instruksikan bahwa misalnya pada hari senin, rabu dan jumat, hanya mobil pribadi dengan nomor (plat nomor) ganjil yang boleh beredar di jalan raya ibukota (Jakarta) sedangkan pada hari selasa, kamis dan sabtu hanya boleh beredar mobil pribadi dengan nomor genap. Lihat hasilnya, kemudian lakukan evaluasi dan analisis terhadap hasil eksperimen tersebut yang bermanfaat untuk membuat perencanaan tentang kemungkinan penerapan pada masa mendatang.

Sementara dilakukan penerapan pembatasan mobil pribadi, sejalan dengan itu Pemerintah harus segera memperbaiki kualitas dan kuantitas angkutan umum. Lakukan penertiban secara sistematis, tegas, tidak pandang bulu, bersihkan semua 'benalu' yang merongrong kualitas angkutan umum termasuk 'mafia' yang melakukan 'pungutan liar' kepada angkutan umum.


Referensi
1. http://www.mail-archive.com/ kendal-online@yahoogroups.com/msg00564.html, diakses 7 Nopember 2010.
2. http://megapolitan.kompas.com/read/2009/09/10/14592832/wow.kerugian.akibat.kemacetan.di.jakarta.rp.28.triliun.setahun, diakses tanggal
     7 Nopember 2010.
3. http://www.pelangi.or.id/othernews.php?nid=3450, diakses 8 Nopember 2010.
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
5. Wijaya, 2005, Pencemaran Udara di Wilayah Jabodetabek, Tugas Mata Kuliah Pencemaran Lingkungan dan Penyakit Berbasis Lingkungan,    Universitas Indonesia.

Ramuan ajaib


Terdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak keika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.
Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.
“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”
Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”
“Kok bisa begitu?”
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.
“Resep agar sukses ujian.”
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.
“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.

Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.
“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.
Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.
“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.

“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”
“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”
Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.
“Yogi hanya kesedak, Bu.”

“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.
“Benar kamu tidak apa-apa?”
Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.

“Kakek, di mana?”
“Ada di kamarnya. Kenapa?”
“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.

Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.

“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.
* * * *
Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.

Yogi membuka matanya dengan berat.
“Kamu sakit, Nak?”
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”
“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”
Yogi hanya bisa pasrah.
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.

“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.
“Yogi minum, kopi?”
Kepala Yogi menggeleng.
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.
“Kamu membuat rauan ini?”
Yogi mengangguk pelan.
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.
Dengan wajah murung Yogi menjawab.
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”

“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”
“Ya. Kakek langsung sakit.”
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”

“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”
Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.

“Yogi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”
Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaib.

Selembar Uang 5000


Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”

Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.

“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.

“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.
“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.

“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.

“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”

* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.

“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.

“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.

Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.

“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.
“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.

cerpen tugas statistik


Brakk!!…
Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…
Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?
Brak!!…
Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.
“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!
“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”
Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.
Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.
“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”
“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”
“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”
“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.
Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.
Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….
Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.
Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.
Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.
Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”
****
Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.
“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?
“Lo sendiri?”
“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”
Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.
“Pulang?”
Laki- laki di depannya mengangguk mantap.
“Trus, tugas statitiskmu?”
“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.
“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.
“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.
“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”
“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”
“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”
“Maksudnya?”
“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”
“Jadi?”
“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”
Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.